Komunikasi dan Kebijakan Keuangan Daerah



ASPEK KOMUNIKASI KEBIJAKAN
DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA PADA PEMERINTAH DAERAH



Abstrak
Keuangan negara perlu dikelola dalam suatu sistem yang didukung kebijakan yang dirumuskan dengan cermat. Komunikasi kebijakan pengelolaan keuangan negara pada pemerintah daerah menghadapi tantangan jumlah pemerintah daerah yang sangat banyak dan lapisan birokrasi yang tidak sedikit. Diskresi yang dipilih pelaksana pada pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan perlu dikelola agar konsisten pada tujuan kemanfaatan umum

Kata kunci: diskresi, kebijakan, keuangan negara, komunikasi, pemerintah daerah




I.                   Pendahuluan
Mengelola negara untuk mencapai tujuan negara membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang baik. Untuk menjamin agar sistem tersebut dipatuhi dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan perumusan kebijakan yang cermat. Konstruksi kebijakan pengelolaan keuangan negara telah dibangun sejak dari konstitusi yang tertinggi yaitu UUD 1945 khususnya pada pasal 23 yang mengatur agar keuangan negara dikelola dengan terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab tersebut dimaksudkan agar keuangan negara benar-benar digunakan untuk mencapai tujuan negara yaitu kemakmuran rakyat. Hal ini seharusnya menjadi arah kebijakan pengelolaan keuangan negara di daerah yang implementasinya diatur dalam kebijakan-kebijakan yang lebih mikro maupun program di pemerintah daerah.  
Pemerintah daerah di Indonesia yang jumlahnya telah lebih dari 500 memerlukan suatu rumusan kebijakan yang mampu membawa pengelolaan keuangan daerah di seluruh pemda pada arah yang jelas sehingga selaras bersama-sama dengan pengelolaan keuangan negara di pemerintah pusat untuk mencapai tujuan pemanfaatan yang optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan keuangan negara di pemerintah daerah yang sudah dirumuskan oleh pemerintah pusat, apakah menjamin implementasi pada pemerintah daerah akan serupa dengan yang dimaksud oleh perumus kebijakan tersebut? Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji apakah kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan keuangan daerah yang dirumuskan oleh pemerintah pusat dapat diimplementasikan dengan baik.

II.                Literatur
Secara sederhana, Riant Nugroho (2011: 139) mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut:
“…setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisaikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan”.

Kebijakan publik memiliki ciri khas yaitu bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu lazimnya dipikirkan, didesain, dirumuskan dan diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas dalam sistem politik (Wahab, 2012: 18)

Model proses kebijakan menurut Thomas R. Dye (1972) dibagi menjadi beberapa kegiatan, yaitu:
a.      Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)
b.      Pengaturan agenda (agenda setting)
c.      Perumusan kebijakan (policy formulation)
d.     Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
e.      Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
f.       Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Policy implementation as what develops between the establishment of an apparent intention on the part of government to do something or stop doing something and the ultimate impact of world of actions: connection between the expression of governmental intention and actual result (O’toole, 1995).

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Fungsi implementasi adalah membentuk suatu upaya yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai “outcome” atau hasil dari kegiatan pemerintahan (Suwitri, 2011: 80).

Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau formulasi kebijakan derivatif atau turunan dari kebijakan publik (Riant Nugroho, 2011:618).

The importance of reliable information on implementation cannot be underestimated. When policymakers lack information about implementation, they may not only terminate a potentially successful program, but they also may expand a program inappropriately (Edwards III, 1980).

Edwards III (1980) menggunakan empat aspek dalam implementasi kebijakan, yaitu:
a.       Komunikasi (communication)
b.      Sumber daya (resources)
c.       Kecenderungan sikap (dispositions or attitudes)
d.      Struktur birokrasi (bureaucratic structure)
Aspek komunikasi dalam implementasi kebijakan menurut Edwards III (1980) mengindikasikan tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu:
a.       Transmisi
Transmisi menyangkut bagaimana suatu kebijakan diteruskan kepada personil yang tepat dengan komunikasi yang akurat. Beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-perintah dalam implementasi berupa: i) pertentangan pendapat antara pemberi perintah dengan pelaksana yang berdampak kepada distorsi terhadap komunikasi, ii) berlapisnya hirarki birokrasi yang berdampak pada distorsi perintah kepada pelaksana, iii) persepsi selektif dari pelaksana yang berdampak pada keengganan melaksanakan perintah atau menggunakan diskresi untuk memilih menghindari kebijakan.

b.      Kejelasan
Komunikasi atas kebijakan yang diimplementasikan harus jelas, instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana tidak kabur tetapi menjelaskan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Namun demikian, fleksibilitas dalam implementasi tetap diperlukan mengingat lokus dalam implementasi seringkali memiliki perbedaan kondisi yang berdampak kepada perbedaan kebutuhan pendukung implementasi. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan adalah: i) kompleksitas kebijakan publik, ii) keinginan untuk tidak mengganggu stabilitas kelompok-kelompok masyarakat, iii) kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, iv) masalah-masalah dalam memulai kebijakan baru, v) menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan vi) sifat pembentukan kebijakan pengadilan.

c.       Konsistensi
Meskipun perintah implementasi sudah jelas, namun jika diantara perintah-perintah saling bertentangan akan membingungkan pelaksana. Perintah yg tidak konsisten juga mendorong pelaksana mengambil tindakan yang longgar dalam menafsirkan suatu kebijakan yang berdampak pada kurang efektifnya implementasi kebijakan. Ketidakkonsistenan biasanya juga berasal dari besarnya kepentingan yang bersaing yang berusaha mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi komunikasi adalah i) kerumitan kebijakan publik, ii) masalah-masalah yang mengawali program baru, dan iii) ketidakjelasan tujuan.

III.             Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganalisis kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah daerah di Indonesia selama periode tahun 2013 sampai dengan pertengahan 2014. Diskusi dengan personil yang kompeten di beberapa pemerintah daerah dan pengalaman peneliti sebagai auditor pada pemerintah daerah menjadi penyeimbang hasil analisis.
Aspek komunikasi kebijakan menjadi fokus dalam penelitian ini dengan pertimbangan aspek ini yang menurut pelaksana kebijakan di pemerintah daerah mengganggu implementasi kebijakan. Aspek komunikasi kebijakan juga melibatkan banyak stakeholders pada banyak lapisan birokrasi sehingga meningkatkan kompleksitas gangguan dalam implementasi kebijakan.

IV.             Hasil dan Diskusi
a.      Komunikasi Kebijakan
1.      Transmisi kebijakan
Kebijakan pengelolaan keuangan negara pada pemerintah daerah harus mengacu pada kebijakan makro yang disusun oleh pemerintah pusat. Untuk memungkinkan implementasi kebijakan keuangan negara di pemerintah daerah, diperlukan transmisi kebijakan dari penyusun kebijakan yaitu pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Pada pemerintah pusat, yang diberikan tugas untuk melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah adalah Kementerian Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta susunan organisasi tugas dan fungsi Eselon I Kementerian Negara. Penyampaian kebijakan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah adalah bagian dari tugas Kementerian Dalam Negeri dhi. Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (DJKD). Tujuan dibentuknya DJKD adalah mendorong meningkatnya kualitas pengelolaan keuangan daerah, peningkatan tertib administrasi pengelolaan keuangan daerah, yang transparan, dan akuntabel. Salah satu arah kebijakan DJKD dalam Rencana Strategis tahun 2010 s.d. 2014 adalah menyiapkan rumusan kebijakan serta  standarisasi teknis dan fasilitasi di bidang akuntansi, pertanggungjawaban keuangan daerah, bantuan keterangan ahli, pemberian dukungan teknis, informasi keuangan daerah serta pembinaan dan evaluasi pengelolaan keuangan daerah.
Menurut Edwards III, semakin banyak yang harus dijangkau dengan komunikasi, dalam proses transmisi kebijakan semakin besar kemungkinan kehilangan beberapa diantaranya. Dan semakin banyak lapisan birokrasi yang harus dilewati oleh pelaksana-pelaksana, maka semakin besar peluang perintah implementasi tersebut diabaikan dan terdistorsi. Transmisi implementasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah  yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menghadapi situasi seperti yang disampaikan oleh Edwadrs III dimana transmisi kebijakan harus menjangkau seluruh pemerintah daerah di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak yaitu 529 Pemerintah daerah yang terdiri dari 34 Pemerintah Provinsi, 402 Pemerintah Kabupaten dan 93 Pemerintah Kota sementara setiap pemerintah daerah memiliki situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Selain itu, situasi struktur birokrasi pada pemerintah daerah yang memiliki lapisan hirarki yang tidak sedikit juga bisa menjadi kendala dalam transmisi kebijakan.
Berdasarkan teori Edwards III, transmisi kebijakan yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada Pemerintah daerah seharusnya disampaikan kepada personil yang tepat dan informasi yang disampaikan akurat yaitu sesuai dengan yang dimaksud oleh penyusun kebijakan. Personil yang tepat adalah personil yang memiliki pemahaman memadai tentang keuangan daerah dan memiliki kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Untuk bisa menyampaikan informasi pengaturan keuangan negara pada pemerintah daerah dengan akurat maka informan yang melakukan transmisi harus memiliki pemahaman yang baik tentang keuangan daerah, memiliki kewenangan terkait keuangan daerah dan menguasai teknik komunikasi yang baik.  Apabila transmisi tidak dilaksanakan sesuai teori Edwards III, maka timbul permasalahan berupa pertentangan pendapat, distorsi perintah oleh pelaksana dan persepsi selektif. Pertentangan pendapat dan distorsi dalam komunikasi kebijakan pengelolaan keuangan negara pada pemerintah daerah berdampak kepada pengelolaan keuangan yang menyimpang dari kebijakan atau pemborosan karena melaksanakan kegiatan yang tidak diperlukan. Sementara keengganan dari pelaksana kebijakan dalam hal ini pihak-pihak yang terkait pengelolaan keuangan daerah untuk mengubah rutininas pengelolaan keuangan yang sebelumnya agar sesuai dengan kebijakan yang baru akan menghambat implementasi kebijakan baru. Situasi kurangnya dukungan dari pelaksana menunjukkan keterkaitan aspek transmisi dengan aspek kecenderungan sikap pelaksana (disposisi) dalam teori Edwards III.
2.      Kelengkapan, kejelasan dan konsistensi komunikasi kebijakan
Jika menengok sejarah pengaturan pengelolaan keuangan daerah di Indonesia, sangat banyak peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan sering terjadi perubahan pengaturan. Pada awal 1980 an, pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota menggunakan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA). Sistem MAKUDA tersebut dengan ciri-ciri antara lain single entry (pembukuan tunggal), incremental budgeting (penganggaran secara tradisional yakni rutin dan pembangunan) dan pendekatan anggaran berimbang dinamis. Perkembangan selanjutnya Sistem MAKUDA dinilai tidak memenuhi kebutuhan daerah terkait pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yaitu tidak mampu memberikan informasi mengenai kekayaan yang dimiliki oleh daerah, atau dengan kata lain tidak dapat memberikan laporan neraca dan tidak mampu memberikan informasi mengenai laporan aliran kas sehingga manajemen atau publik tidak dapat mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan adanya kenaikan atau penurunan kas daerah. Perkembangan selanjutnya pada pemerintah daerah diawali dengan pemberian dan pelaksanaan otonomi yang luas kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk mendukung operasional bagi pelaksanaan kedua undang-undang tersebut, telah pula diundangkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara pada pemerintah daerah antara lain : (a)PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; (b)PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; (c) PP Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan  dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan; dan (d) PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Untuk mengembangkan sistem pengelolaan keuangan negara pada pemerintah daerah yang transparan dan akuntabel diatur penjabaran lebih lanjut dari PP Nomor 105 Tahun 2000 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, PelaksanaanTata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Upaya perwujudan akuntabilitas melalui instrumen Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002  dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah 105 Tahun 2000, yaitu dalam pasal 35 yang mengamanatkan bahwa “penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah”. Namun sampai dengan pertengahan tahun 2005, standar dimaksud belum dapat terwujud. Standar akuntansi keuangan pemerintahan belum disusun antara lain akibat ketidakjelasan mengenai institusi maupun lembaga yang berwenang untuk menerbitkan standar bagi instansi pemerintah.
Kebijakan tentang “keuangan negara” selanjutnya mengalami perubahan besar dengan ditetapkannya paket undang-undang tentang keuangan negara yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Paket undang-undang tentang keuangan negara tersebut menjadi landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan reformasi manajemen keuangan negara dimana telah dibuat pengaturan secara jelas dan tegas tentang sistem pengelolaan keuangan dan aset negara dengan cermat dan sistematis yang mengikuti perkembangan manajemen sektor publik sehingga dapat mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang bersih dan profesional.
Upaya-upaya untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara digulirkan seiring penerapan otonomi daerah yang semakin luas dengan dilakukan perubahan atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah dan perimbangan keuangan daerah antara lain adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengaturan selanjutnya dalam paket undang- undang-undang keuangan negara, terutama Undang-Undang 17 tahun 2003 telah secara tegas mengamanatkan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berupa laporan keuangan yang terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. Selanjutnya dalam undang-undang yang sama diamanatkan pula bahwa bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah (SAP). Standar akuntansi pemerintah yang digunakan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan pemerintah disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Menindaklanjuti amanat UU tentang Keuangan Negara agar Pemerintah menyusun laporan keuangan sesuai SAP, maka terbitlah PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang SAP. SAP tersebut disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Ternyata terdapat beberapa perbedaan yang terkait dengan pengakuan, penilaian dan pelaporan akuntansi berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 dengan PP 24 Tahun 2005. Perbedaan tersebut antara lain berkaitan dengan basis akuntansi, pengakuan dan depresiasi aset tetap, pengakuan kewajiban, jenis laporan keuangan, penyajian dan pengungkapan informasi keuangan.
Perbedaan dalam basis akuntansi, penyajian, pengakuan dan pengukuran akuntansi keuangan daerah menurut Kepmendagri 29 Tahun 2002 yang sudah diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan baru dalam PP 24 Tahun 2005 membawa konsekuensi kebutuhan yang berbeda atas sistem akuntansi yang diperlukan. Sistem akuntansi pemerintah merupakan serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah.  Dengan demikian pemerintah daerah harus mengubah rutinitas sistem akuntansi berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 antara lain mengubah struktur kekuasaan pemerintahan dari sentralisasi kepada desentralisasi yang membawa pengaruh antara lain : Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD) melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), yang didasarkan atas prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan menerima/mengeluarkan uang; memerankan Sekretaris Daerah selaku koordinator dan pengendalian penyelenggaraan pemerintah daerah;  PPKD bertanggungjawab kepada PKPKD melalui Sekretaris Daerah; dan meningkatkan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Pelaksanaan Penatausahaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah.
Mengakomodir reformasi keuangan negara dan otonomi daerah maka dilakukan perubahan atas PP Nomor 105 tahun 2000 menjadi PP Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.  PP Nomor 58 tahun 2005 ini juga telah melahirkan regulasi baru sebagai aturan pelaksanaannya karena adanya pasal kunci dalam PP 58 Tahun 2005 yaitu pasal 154, yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.” Oleh karena itu, lahirlah Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Permendagri No. 13 tahun 2006 merupakan pedoman umum bagi pemerintah daerah di dalam melaksanakan tata kelola keuangannya. Pemerintah daerah selanjutnya harus menyusun aturan pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah dalam bentuk Perda Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan berbagai Peraturan Kepala Daerah terkait dengan implementasinya. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 ternyata masih banyak mengandung ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam memberikan pedoman pengelolaan keuangan kepada daerah. Secara singkat ketidakjelasan pengelolaan keuangan tersebut antara lain terkait ketidakjelasan konsep Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan mekanisme Uang Persediaan (UP) dan Ganti Uang Persediaan (GU).
Reformasi dalam pengelolaan keuangan negara dengan lahirnya paket undang-undang tentang keuangan negara yang diiringi reformasi tata kelola pemerintah daerah berupa otonomi daerah membawa konsekuensi perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah daerah yang seolah baru lahir menjadi entitas yang mandiri harus bergegas membenahi diri untuk dapat mengikuti tuntutan reformasi. Namun sayangnya, pengaturan-pengaturan dari pemerintah pusat khususnya terkait pengelolaan keuangan daerah yang seharusnya menjadi pedoman bagi pemerintah daerah malah membingungkan pemerintah daerah. Pengubahan tata kelola keuangan daerah dari sistem MAKUDA ke sistem sesuai Kemendagri 29 tahun 2002, ternyata tidak sebentar dirasakan hasilnya karena pemerintah daerah harus segera melakukan perubahan dengan keluarnya PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP. Permendagri Nomor 13 tahun 2006 yang diharapkan dapat menjadi pedoman teknis dalam mengimplementasikan SAP sesuai PP Nomor 24 tahun 2005 ternyata malah membingungkan karena kedua peraturan tersebut tidak sinkron sehingga pemerintah daerah harus melakukan modifikasi dan konversi ketika akan membuat laporan keuangan agar sesuai dengan SAP.
Setelah Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Kementerian Dalam Negeri masih beberapa kali melakukan perubahan kebijakan  pengelolaan keuangan daerah antara lain dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 dan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Perubahan dalam Permendagri Nomor 59 tahun 2007 antara lain mencakup penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan urusan dan organisasi perangkat daerah serta mengatasi permasalahan teknis dalam implementasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Sedangkan Perubahan dalam Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 antara lain terkait kebijakan pengalihan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari APBN menjadi APBD, perubahan struktur pendapatan, penegasan pejabat pembuat komitmen, penganggaran tahun jamak dan pengaturan pendanaan tanggap darurat. Kementerian Dalam Negeri selanjutnya mengubah pengaturan penganggaran pemberiang uang kepada masyarakat dengan menjelaskan pada Permendagri Nomor 37 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2013 yaitu pemberian uang dimaksud dianggarkan dalam Belanja Pegawai adalah apabila berupa hadiah atau penghargaan pada prestasi. Ternyata Kementerian Dalam Negeri mengubah lagi pengaturan anggaran pemberian uang kepada masyarakat dalam Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 tentang  Pedoman Penyusunan APBD tahun 2014 yaitu tidak lagi pada anggaran Belanja Pegawai namun pada anggaran Belanja Barang dan Jasa. Padahal anggaran Belanja Barang dan Jasa sebagaimana diatur dalam SAP tidak mencakup kegiatan pemberian uang kepada masyarakat. Belanja Barang dalam SAP (Buletin Teknis Nomor 4 sebagai bagian dari SAP) dijelaskan sebagai pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang  dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan.
Sementara itu, pemerintah daerah saat ini harus menyiapkan diri untuk mengimplementasikan SAP berbasis akrual selambatnya pada tahun 2015 sebagaimana diatur pada PP Nomor 71 Tahun 2010. Selambatnya pada bulan Mei tahun 2014 Kepala Daerah sudah harus menerbitkan peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi dan sistem akuntansi pemerintah daerah dengan basis akrual (diatur dalam Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan SAP Berbasis Akrual pada Pemerintah daerah).  Meskipun pedoman terkait kebijakan akuntansi dan sistem akuntansi pemerintahan daerah telah dibuat oleh Kemendagri yaitu pada Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan SAP Berbasis Akrual pada Pemerintah daerah, namun justru pedoman tentang bagaimana tahapan berupa urutan kegiatan yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam menyiapkan transisi basis akuntansi menuju akrual penuh belum tersedia. Sampai dengan tahun 2015 ini, belum seluruh pemerintah daerah menerbitkan peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi dan sistem akuntansi pemerintahan daerah dengan basis akrual. Padahal perubahan-perubahan peraturan pengelolaan keuangan daerah yang sangat sering terjadi sejak sistem MAKUDA  yang masih sederhana pada 1980 an, Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 yang single entry dan pengelolaan keuangan yang sentralisasi pada PPKD, PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP dengan Kemendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang double entry dan sudah mengarah pada praktek akuntansi yang best practice meskipun masih berbasis kas menuju akrual serta pengelolaan keuangan yang desentralisasi pada SKPD dan perubahan-perubahan pedoman pengelolaan keuangan oleh Kemendagri masih belum sepenuhnya bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah bahkan masih menyisakan kebingungan.
b.      Mengelola diskresi kebijakan
Komunikasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang buruk sebagaimana dijelaskan di atas, menurut Edwards III akan menimbulkan dampak yang mengganggu tercapainya tujuan kebijakan. Persepsi selektif dan diskresi yang dipilih pelaksana kebijakan agar sesuai dengan kepentingan dari pihak-pihak yang berkuasa perlu dihindari. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjadi salah satu upaya untuk mengantisipasi resiko tersebut. Pada pasal 9 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur agar ketiadaan dan ketidakjelasan peraturan perundangan tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai Asas Umum Pemerintahan yang Baik yaitu 1) kepastian hukum; 2) kemanfaatan; 3) ketidakberpihakan; 4) kecermatan; 5) tidak menyalahgunakan kewenangan; 6) keterbukaan; 7) kepentingan umum; dan 8) pelayanan yang baik. Diskresi yang dilakukan pejabat pemerintahan hanya boleh dalam koridor batasan kewenangannya dan bertujuan untuk: 1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; 2) mengisi kekosongan hukum; 3) memberikan kepastian hukum; dan 4) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Bagaimana pelaksana kebijakan menggunakan diskresi kebijakan tergantung dari kecenderungan pelaksana terhadap kebijakan yaitu bagaimana pandangan dan penilaian pelaksana terhadap dampak dari kebijakan bagi pribadi maupun organisasi dari pelaksana. Penyusun kebijakan tidak jarang harus menghadapi pelaksana kebijakan yang memiliki kecenderungan tidak menyukai kebijakan sehingga harus memanipulasi kebijakan atau mengurangi diskresi dari kebijakan (Edwards III: 1980).
V.                Kesimpulan
Kebijakan –kebijakan terkait pengelolaan keuangan negara di pemerintah daerah yang dirumuskan oleh pemerintah pusat memerlukan transmisi yang baik. Saluran komunikasi harus dikembangkan agar efektif karena banyaknya pemerintah daerah yang harus dijangkau. Perumusan kebijakan yang kurang cermat oleh pemerintah pusat sehingga sering memerlukan perubahan akan menurunkan probabilitas implementasi di pemerintah daerah karena kebijakan baru seringkali masih menghadapi masalah ketidakjelasan dan inkonsistensi kebijakan. Kebijakan yang tidak jelas dan tidak konsisten juga menimbulkan keengganan pelaksana pada pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan. Diskresi yang dipilih oleh pelaksana di pemerintah daerah dari kebijakan yang tidak jelas dan tidak konsisten harus dikelola agar tetap pada tujuan kemanfaatan umum.




VI.             Daftar Pustaka
Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Eaglewood Cliff: Prentice  Hall.
Edwards, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC: Congresional Quarterly Press
Nugroho, Riant, 2011, Public Policy (Dinamika Kebijakan -  Analisis Kebijakan– Manajemen Kebijakan), Jakarta: PT Elex Media Komputindo
O’Toole, L.J.R. Jr. 1995. Rational Choice and Policy Implementation. American Review of Public Administration
Suwitri, Sri, 2011, Konsep Dasar Kebijakan Administrasi Publik, Semarang, Badan Penerbit Undip
Wahab,Solichin Abdul. 2012. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Bumi Aksara


Komentar