Sebuah Cerita

“Jangan biarkan hidup bergulir terlalu cepat, Dek”, kata seorang tua itu pada rekan saya, “nanti tahu-tahu kita sudah tua lalu mati”.
Kata-kata itu, saya dengar pertama kali dari rekan saya sesama engineer di pengeboran minyak. Seorang Bapak-bapak tua kru pengeboran darat yang berseloroh pada dia.
Awalnya adalah cerita basa-basi saja. Kami, para pekerja lapangan minyak, baik para engineer, kru pengeboran, atau siapa saja yang bertemu muka disana haruslah beramah tamah dan saling mengenalkan diri, kalaulah tidak ingin menghabiskan hitungan hari ke depan dalam selimut sepi. Dan dalam segala macam bentuk perkenalan, pastilah ada kekata klise yang kita lontarkan dengan refleks.
“Jadwal kerjanya berapa-berapa, Pak?”, tanya temanku tadi pada Bapak tua itu.
Pertanyaan jadwal kerja adalah pembuka percakapan yang sangat biasa dan lumrah, untuk para pekerja lapangan migas. Kami bekerja dalam pola yang tidak umum. Sekian minggu terasing di area terpencil, hutan, lautan, teluk, pepasir gurun, lalu sekian minggu libur menikmati kebersamaan dengan keluarga.
“Saya sebulan-sebulan”, jawab Bapak tua itu.
Rekan saya menyahut, betapa enaknya waktu libur jika jadwal sebulan-sebulan tapi betapa lamanya terasa jika di anjungan pengeboran, sedangkan dirinya saja, yang memiliki jadwal dua minggu-dua minggu merasakan betapa libur dirumah begitu tak terasa dan kala kerja begitu panjang menyiksa.
Dan disitulah Bapak tua itu menyampaikan petuahnya. “Jangan biarkan hidup bergulir terlalu cepat, Dek”, kata Bapak tadi, “sudahlah waktu libur kita terasa begitu cepat…lalu waktu kerja pula ingin kita percepat, hidup kita bergulir sudah terlalu melaju, lalu tiba-tiba kita sudah tua dan mati”.
Rekan saya yang bercerita ini, terdiam kala itu. Saya pula sempat terdiam berapa jenak waktu dia menceritakan ulang kisah itu pada saya.
Tapi sebagaimana fithrah manusia, maka tak lama kemudian saya melupakan kisah berhikmah itu. Saya masuk kedalam rutinitas pergi bekerja sekian minggu, libur sekian minggu, kerja lagi sekian minggu. Dalam sela kesibukan itu, saya menelepon rekan saya tadi, “dimana, Bung?”, tanya saya basa-basi.
“Ah…sedang mensetop percepatan hidup”, katanya.
Maka kembali ingatlah saya dengan cerita itu. “Selamat berlibur”, kata saya waktu itu, kepada rekan saya yang sedang membawa tamasya keluarganya di KaliurangJogjakarta.
Hidup memang melaju, ya? Dan rutinitas yang konstan memang bisa “membunuh”. Membunuh kepekaan kita akan keindahan, akan anugerah hidup itu sendiri, akan sebuah makna besar yang dititipkan pada kita, akan kenyataan bahwa seberharga-berharganya manusia adalah yang paling bermanfaat kepada orang lain, yang dengan hati menjalankan apa-apa, yang bukan robot.
Kali yang lain, masih dalam suasana kerja. Saya dan seorang rekan yang jauh lebih muda dari saya, sedang berbincang. Sore itu seperti biasa, senja makin merah, kami ada di sebuah teluk, berapa menit perjalanan dari tepian Balikpapan. Laut berkecipak, dan di dalam speedboat yang sedikit berisik oleh dengung baling-baling kami bertukar cerita.
Rekan saya yang lebih muda tadi menceritakan kisah ini pada saya. Ini kisah nyata, katanya.
Di sebuah negri, tersebutlah seorang pemain biola nan sangat ulung, begitu diagung-agungkan orang akan permainan biolanya yang brilian. Suatu kali dia mengadakan konser besar. Konser yang memenuhi halaman-halaman surat kabar, ditingkahi tepuk-tangan dan riuh rendah orang-orang. Mewah, bercitarasa tinggi, gemerlap.
Seusai konser -atau hari berikutnya saya tidak begitu ingat-, sang pemain biola ini tadi pergilah ke sebuah subway. Tanpa jas-nya, pakaian seadanya, menenteng biola, dan berdiri menyudut pada sebuah jalan yang ramai dilalui lalang orang-orang.
Pelan-pelan dia menggesek biolanya. Suara-suara keluar dan melayang-layang. Permainan yang sama bagusnya dengan yang dia tampilkan di konser. Kesyahduan yang sama mengirisnya. Semuanya sama. Tapi tak ada yang memperhatikan.
Semua orang berlari cepat, berjalan cepat mengejar kereta. Tergopoh-gopoh. Seperti semua membawa beban tak tampak mata pada tiap-tiap pundak mereka. Tapi tak ada yang memperhatikan gesekan biola itu.
Sekali-kali ada pula satu dua orang yang berhenti menyeksamai, lalu pergi lagi setelah meninggalkan kepingan receh pada seorang pemain biola legendaris yang mereka kira pengamen tadi.
Benarlah, fikir violinist itu, rutinitas telah memalingkan orang-orang dari keindahan yang sering mereka temui. Akhir cerita ini adalah satu-satunya yang mengenal permainan biolanya dan dirinya ialah anak kecil, seorang anak kecil yang bersih hatinya.
Dua orang rekan saya, yang menceritakan ulang kisah mereka itu membuat saya tercenung, apakah hidup saya pun sudah sebegitu melajunya? Sedang ahli hikmah berkata bahwa hidup yang terlampau cepat dan membuat kita tak sempat tafakur dan menilai ulang diri, memberi makna hari-hari, adalah kehidupan yang tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi sia-sia.
Ah…harus ada yang kita reka ulang dalam keseharian kita. Harus ada yang kita baluri makna-makna. Jika hidup dan keseharian kita ialah bekerja, maka bagaimana bekerja itu memiliki makna yang menembus batas-batas rutinitas. Mungkin dimulai dengan mata yang bening menangkap keindahan sekitar kita. Telinga yang jujur. Ketertarikan menangkap pelajaran-pelajaran seperti anak kecil. Perenungan yang menghadirkan; dalam setiap harinya kebersyukuran diri, kemanfaatan diri.
Mungkin, hanya dengan cara berfikir seperti itu maka hidup kita tidak melaju cepat tak terkendali tanpa arti. Dan bisa memunculkan tunas-tunas kebaikan dalam keadaan bagaimanapun kita.
Kebersamaan dengan keluarga kala di rumah menjelmakan cinta dan kehangatan, menguatkan, lalu kesendirian kala kerja menjadi “pertapaan” membijakkan. Seperti Ibnu Taimiyah yang menuntaskan Majmu’ Fatawa kala di penjara, atau Fi Zhilalil Qur’an yang dituliskan kala di tahanan, atau Tafsir Al Misbah yang diselesaikan Quraisy shihab kala “pengasingan” kerja di mesir, dan semacam itu.
Mudah-mudahan juga, nanti dalam keseharian kita, kita bisa mendengar “gesek biola” indah di sudut-sudut jalan yang lama tak dihiraukan orang, juga bisa memaknai dan mengatakan hal ini dengan penuh kesadaran berbagi kepada orang lain yang membutuhkan… “Jangan biarkan hidupmu bergulir terlalu cepat, Nak”.

Komentar